Senin, 23 April 2012

Kisah Pengorbanan Seorang Ayah Kepada Anaknya

Nelayan Kritisi Tayangan Televisi

Menonton Televisi Secara Sehat telah dilakukan beberapa kali di berbagai komunitas. Pada Kamis, 20 Agustus 2009, Pukul 15.00 WIB Tim LeSPI datang ke komunitas ibu-ibu nelayan Mina Arta Karya di kawasan Ngebruk Mangkang Wetan Semarang.


Acara diikuti sekitar 40 nelayan setempat. Mereka aktif menyampaikan pendapat mengenai tayangan televisi yang selama ini dikonsumsi. dalam diskusi tersebut banyak diantara mereka yang mengeluhkan beberapa tayangan televisi, diantaranya sinetron yang banyak menceritakan hal-hal yang tidak lumrah yang terjadi di sekitar masyarakat seperti dalam satu keluarga banyak yang bertengkar terus, padahal menurut mereka satu keluarga itu harus rukun apalagi antara mertua dan menantu.
mereka juga sepakat bahwa materi yang di sampaikan oleh tim LeSPI memang sesuai dengan realita yang terjadi di masyarakat, bahwa selama ini masyarakat di sini hanya mengomel dan tidak memindah chanel ketika program yang di tayangkan buruk, dan sebagai keseimbangan antara duniawi dan ukhrowi mereka menonton tv sambil wiridan, bagi mereka ini merupakan benteng untuk tayangan yang tidak sehat.

MAKNA PEREMPUAN SEKSI DALAM TAYANGAN TELEVISI

Maraknya tayangan dalam televisi menempatkan perempuan sebagai sosok yang teraniaya, sementara keteraniayaan itu bukan sebagai titik tolak melawan kesewenangan-wenangan penindasan kaum lelaki. Atau cerita-cerita yang menempatkan perempuan sebagai penggoda. Rumusan masalahnya dalam Skripsi ini adalah Bagaimanakah Makna perempuan dalam tayangan Komedi Tengah Malam SEKSi di LATIVI dan tujuan penelitianya untuk mengetahui Makna Perempuan dalam tayangan Komedi Tengah Malam SEKSi di LATIVI melalui analisis Semiotik. Berdasarkan masalah atau kajian yang diteliti, maka penelitian ini tergolong penelitian deskriptif interpretatif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif inerpretatif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat dengan tujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis.


Penelitian ini menggunakan analisis Roland Barthes karena menurut Barthes film merupakan sistem yang berfungsi sebagian pada tingkatan mitos. Tanda berfungsi melalui kode dan beroperasi pada dua tingkatan yaitu denotatif dan konotatif. Denotatif merefleksikan suatu penandaan makna yang spesifik dan konotatif memberikan makna dan konteks kebudayaan tertentu Apalagi isu tentang eksploitasi tubuh perempuan bukan lagi barang baru tetapi dari jaman klasik sudah ada. Kebudayaan yang merekonstruksi perempuan untuk tunduk pada citranya yaitu citra perempuan bisu yang sebagai pembawa makna bukan pembuat makna. Karena itu teori yang dianggap tepat adalah teori gender dan feminisme dengan analisis semiologi Barthes. Ruang lingkup penelitian ini adalah tayangan Komedi Tengah Malam Seksi yang ditayangkan pada hari Rabu 15 Maret 2006 pada pukul 23.30 dengan judul ?Maniak Casting? dengan durasi 18 menit.

Tayangan Komedi Tengah Malam SEKSi dengan judul ?maniak casting? berawal dari tiga orang perempuan yang ikut casting yaitu Amy, Susi dan Susan. Amy bertemu Wawan yang mengaku jadi produser dan berhak memilih orang yang lolos casting. Padahal Wawan hanyalah seorang kameramen.Setelah berhasil mengelabui Amy Wawan meminta persyaratan agar Amy mau untuk melakukan apa saja agar dia mendapatkan peran. Begitu juga dengan Susi dan Susan untuk mendapatkan peran diapun bertingkah seseksi mungkin dengan tampang binalnya. Maka yang mendapatkan peran adalah Susi dan Susan karena mereka punya kriteria perempuan seksi yang mempunyai payudara yang besar. Tetapi Wawan mengatur jadwal pada malam hari untuk mengerjai ketiga kontestan casting.Akhirnya pada giliran Amy dikerjai, kedok Wawan sebagai produser palsu telah terungkap oleh Bossnya.

Untuk itu peneliti mencari signifier yaitu berupa perempuan dalam tayangan komedi tengah malam dan signifiednya adalah interpretasi dari signifier yang merupakan tataran denotative kemudian peneliti mencari makna konotasi yaitu makna yang lebih identik dengan operasi idiologi, yang disebutnya mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku pada suatu periode tertentu. Dari gaya busana, signifiernya adalah Amy : baju ketat (semi tanktop), belahan dada terbuka, rok mini, sandal hak tinggi. Signifiednya: perempuan seksi, tidak ketinggalan mode, nakal, penggoda. Makna konotasi pertama : kebudayaan mengontrol tubuh perempuan karena dalam tataran kebudayaan tubuh perempuan adalah seksualitas. Perempuan adalah imajinasi seksual laki-laki. Kedua mengebiri perempuan dengan penggambaran fetistik (melebih-lebihkan) misalnya sepatu hak tinggi, rambut panjang atau anting-anting atau juga perempuan mengubah dirinya sebagai objek fetis dengan menyesuaikan mode, memfragmentasikan kecantikan perempuan ke dalam suatu objek tatapan yang menentramkan hati. Menggunakan istilah ?scopophilia fetistik? untuk menggambarkan suatu proses, dimana kecantikan fisik dari objek dibangun dengan mengubahnya menjadi sesuatu yang memuaskan dirinya sendiri. Dan kaum kapitalis mengerti bahwa perempuan sangat potensial untuk dieksploitasi karena alasan fetisme baik itu berupa tubuh perempuan dan kebutuhan perempuan. Pada akhirnya perempuan mengalami suatu proses komodifikasi media.

Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa perempuan dalam tayangan ini juga dijadikan sebagai objek tatapan laki-laki atau male gaze yang bisa menindas dan mendominasi perempuan Tuntutan perempuan memang sangat kompleks fetisme dijadikan alasan kaum kapitalis membaca kesempatan berbisnis. Jadi dunia kapitalis dan tuntutan perempuan yng didasari oleh paham fetisme saling membutuhkan sehingga eksploitasi perempuan tetap berdiri dengan kokoh Diharapkan penelitian ini menjadi inspirasi dan bermanfaat khususnya perempuan untuk menjadi empowering women yang sadar akan kemampuannya yang selama ini di kebiri oleh suatu tatanan masyarakat dimana posisi sebagai perempuan itu adalah dibawah laki-laki, lemah tak berdaya, bodoh, kemampuan intelegensi yang dibawah laki-laki, kekuatannya juga dibawah laki-laki

Kecenderungan meningkatnya tindak kekerasan dan perilaku negatif lainnya pada anak diduga sebagai dampak gencarnya tayangan televisi. Karena media ini memiliki potensi besar dalam merubah sikap dan perilaku masyarakat terutama anak-anak yang relatif masih mudah terpengaruh dan dipengaruhi. Hasil penelitian para ahli menunjukan bahwa tayangan televisi bisa mempengaruhi perilaku anak dan juga sebaliknya tidak berpengaruh apa-apa. Pengaruh ini justru lebih dominan dipengaruhi oleh keharmonisan keluarga. Anak dari keluarga harmonis lebih memiliki benteng/penangkal dalam menyikapi tayangan televisi. Oleh karena itu penangkal yang paling ampuh terhadap dampak negatif tayangan televisi adalah menciptakan keluarga yang harmonis, keluarga yang berusaha menanamkan norma luhur dan nilai agama dalam kehidupan sehari-harinya. Begitu pula stasiun televisi mempunyai tanggung jawab mendidik masyarakat dan anak bangsa melalui pemilihan acara yang tepat.

Komunikasi Politik Dalam Pelaksanaan Pilkada


Berbeda dari pelaksanaan Pemilu legislatif maka pelaksanaan Pilkada prefeerensi politik rakyat sangat cair, pilihan-pilihan politik masyarakat dalam pelaksanaan Pilkada mengalami fluktuasi ke arah yang berbeda dari pilihan politik Pemilu legislatif. Fenomena ini dapat dilihat dari kekalahan calon-calon yang diusung oleh Partai Golkar dalam pelaksanaan Pilkada di Jawa Tengah, Sumatera Utara dan Jawa Barat. Figur politik yang diusung oleh masyarakat lebih menentukan kemenangan Pilkada dari ketiga daerah ini dibandingkan dengan figur politik yang diusung oleh partai politik.

Dalam pelaksanaan Pilkada berlaku diktum tidak mesti figur politik yang diusung oleh partai besar menang, serta tidak mesti figur politik yang diusung oleh partai politik kecil kalah dalam pelaksanaan Pilkada. Kemampuan partai politik dalam menjaring calon-calon yang menjadi figur politik masyarakat menentukan kemenangan dalam pelaksanaan Pilkada oleh partai politik, kemampuan tersebut sebagaimana yang dijelaskan oleh strategi Partai Golkar Kodya Padang yang disampaikan oleh Z. Panji Alam, wakil Ketua DPRD Kodya Padang diskusi bulanan laboratorium Ilmu Politik Fisip Unand adalah dengan menentapkan figur politik terpopuler versi lembaga riset.

Kemudian figur politik terpopuler versi lembaga riset ini ditindaklanjuti melalui riset internal yang dilakukan oleh Partai Golkar sendiri terhadap figur politik terpopuler dalam masyarakat, hasil komparasi dari riset internal Partai Golkat dengan hasil riset lembaga independen diluar Partai Golkar ini menjadi rekomendasi bagi Partai Golkar untuk memutuskan calon-calon yang diusung oleh Partai Golkar dalam pelaksanaan Pilkada. Namun kelemahan Partai Golkar dalam mengusung calon-calon yang diusung dalam pelaksanaan Pilkada tersebut adalah logika berfikir bahwa keberhasilan memimpin Partai Politik di suatu daerah merupakan indikasi terhadap poularitas ketokohan diri dalam masyarakat.

Calon yang diusung oleh Partai Golkar dalam pelaksanaan Pilkada Gubernur Jawa Tengah dari Ketua Partai Golkar Jawa Tengah merupakan bentuk kesalahan logika berfikir diatas, meskipun latar belakang pekerjaan sebagai anggota DPR-RI dan bidang jurnalis sebagai wartawan mendukung pengetahunan dan pengalaman dalam berhadapan dengan masyarakat, tetapi masyarakat Jawa Tengah lebih melihat pasangan Bibit Waluyo dan Rustianingsih yang diusung oleh PDI-P sebagai calon yang berasal dari masyarakat daripada calon Golkar.

Menurut Jusuf Kalla, Ketua Umum Partai Golkar koordinasi di antara elite partai politik antara kader yang diusung oleh daerah dengan pusat menjadi kelemahan dalam partai Golkar, meskipun tidak ada intervensi antara pengurus pusat dengan pengurus daerah dalam partai Golkar, tetapi koordinasi antara pengurus daerah dengan pengurus pusat dalam partai politik menentukan kemenangan calon yang diusung oleh partai politik dalam pelaksanaan Pilkada.

Koordinasi ini dapat dilihat dari pernyataan Megawati Ketua Umum PDI-P bahwa Jawa Tengah merupakan barometer kekuatan politik PDI-P, kekalahan PDI-P dalam pelaksanaan Pilkada di Jawa Tengah menentukan kemenangan partai politik tersebut dalam pelaksanaan Pemilu legislatif dan Pilpres mendatang. Koordinasi internal antara pengurus daerah dengan pengurus pusat dalam PDI-P merupakan bentuk kinerja partai politik yang mempengaharui kemenangan PDI-P dari Partai Golkar. Unsur demokrasi dalam bentuk kebebasan pengurus daerah dalam menentukan kebijakan yang berbeda dari pengurus pusat merupakan dilema yang dihadapi oleh partai Golkar dalam mengatur strategi kemenangan calon yang diusung oleh partai politik dalam pelaksanaan Pilkada.

Kebijakan yang ditentukan oleh pengurus daerah secara sepihak berdasarkan ketokohan partai politik merupakan indikasi ketokohan dalam masyarakat merupakan logika berfikir yang menyesatkan dalam pelaksanaan Pilkada, calon-calon yang diusung oleh partai besar dari pengurus partai itu sendiri dalam pelaksanaan Pilkada memberi peluang terhadap partai-partai kecil untuk memberi ruang kepada figur politik yang lebih dikenal masyarakat daripada figur politik yang lebih dikenal oleh partai politik dalam memenangkan sebuah pelaksanaan Pilkada.

Faktor sistem yang bekerja dalam mekanisme strategi kemennagan dalam pelaksanaan Pilkada lebih menentukan daripada faktor calon yang diunggulkan oleh partai politik. PDI-P dan PKS merupakan partai politik yang memiliki mekanisme politik yang lebih mengakar ke dalam masyarakat, penetapan calon yang diusung dalam pelaksanaan Pilkada diperkuat melalui meknisme politik yang bekerja pada akar rumput.

Strategi PKS dalam memenangkan pasangan Ahmad Herawan dan Dede Yusuf dalam pelaksanaan Pilkada di Jawa Barat adalah dengan mendatangi rumah-rumah penduduk, kampanye-kampanye politik yang dilakukan oleh Bibit Waluyo yang diusung oleh PDI-P melalui pertemuan rakyat kecil di pasar-pasar serta komunikasi politik yang dijalani intensif oleh wakilnya calon Rustiningsih melalui acara “Selamat Pagi” Radio Pemda Kebumen yang dimilikinya ternyata lebih efektif daripada iklan yang ditayangkan melalui sarana audio visual pada media nasional.

Unsur komunikasi politik dalam bentuk penguasaan sarana komunikasi politik masyarakat merupakan strategi politik yang lebih menentukan kemenangan partai politik kecil daripada partai politik besar yang lebih mengusung unsur ketokohan partai politik daripada dalam bentuk faktor segmen apa dan media apa yang digunakan dalam kampanye politik.

Magnitude Komunikasi Politik Obama


Rupanya, hampir semua ahli komunikasi dan para politisi di penjuru dunia kagum terhadap komunikasi politik presiden ke-44 terpilih Amerika Barack Obama. Semenjak forum debat yang dihelat di internal kedua kubu, demokrat dan republik, semua mata tertuju kepada negara adikuasa itu. Puncaknya terjadi pada 16 Oktober lalu, ketika berlangsung debat capres ketiga antara Obama dan McCain.

Dalam debat itu, muncul beragam diskursus mengenai moralitas, karakter, kepribadian, komitmen, nilai-nilai yang diperjuangkan, dan kesungguhan masing-masing capres untuk membangun kontrak politik guna menghasilkan AS yang lebih baik secara nyata. Program-program yang mereka tawarkan kepada rakyat AS begitu riil, seperti formula reduksi pajak bagi kelas menengah. Kedua capres berusaha mati-matian untuk memengaruhi sikap pemilih AS yang rasional.

Dibandingkan McCain, Obama mendapatkan simpati lebih tinggi. Banyak kalangan mengakui bahwa Obama pantas disebut sebagai sang komunikator kelas dunia. Melalui aura kecerdasan dan keterampilannya merajut kalimat, penampilan Obama sungguh menawarkan sederet kisah pembelajaran yang amat kaya tentang apa itu komunikasi massa, yang niscaya dimiliki setiap pemimpin. Drama realis dari panggung politik AS itu patut menjadi refleksi bagi proses rekrutmen pemimpin di negeri ini jelang perhelatan Pilpres 2009.

Seni Komunikasi Obama

Debat memang bukan satu-satunya instrumen mencari seorang pemimpin bangsa berkualitas dan menjamin keberlangsungan tata kelola negara yang baik. Hanya, dengan debat akan diketahui kualitas dan kapabilitas seorang capres dalam memberikan solusi menanggulangi berbagai problem bangsa.

Lebih jauh, keterujian seorang kandidat capres akan tampak dari manajemen emosi, kecakapan menata sikap, mental, dan tutur kata (retorika). Dapat dibayangkan sengitnya perdebatan yang berpotensi melahirkan gesekan emosional antarcapres. Karena itu, perlu dihindari potensi saling hujat antarpribadi (black campaign).

Di situlah kepiawaian komunikasi politik Obama. Dia menunjukkan penguasaan lima macam pola komunikasi massa (5 C).

Pertama, kelengkapan (complete). Dalam debat menegangkan, Obama selalu mampu menyuguhkan gagasan secara lengkap dan koheren; tidak parsial atau sepotong-potong. Eksplorasi gagasannya dalam satu ide terajut secara lengkap.

Kedua, keringkasan dan kepadatan (concise). Sadar efisiensi waktu amat penting, Obama selalu bisa menyampaikan esensi gagasannya dengan ringkas, namun padat. Audiens senang karena dengan demikian mereka mudah mencerna dan tidak bosan mendengar kalimat yang bertele-tele.

Ketiga, memahami kenginan rakyat (consideration). Dalam debat itu, Obama tampil dengan sudah mengetahui apa yang ada di benak rakyat Amerika. Apa yang mereka butuhkan dan apa yang mereka dambakan.

Keempat, memukau (clarity). Obama mampu memilin kata dan merajut kalimat dengan penuh presisi. Dia mampu mengartikulasikan gagasannya dengan jelas dan mengalir. Pilihan diksi bahasa tampak alamiah, ilmiah, dan berkesan penuh tanggung jawab.

Kelima, santun dan persuasif dalam menumbuhkan respek (courtesy). Elemen itu juga diperagakan dengan nyaris sempurna oleh Obama. Dia menawarkan gagasannya dengan santun dan elegan.

Komunikasi Nonverbal

Melihat kondisi psikologi massa di Indonesia, budaya debat terbuka memang belum dapat diandaikan akan terjadi seperti di Amerika. Sebab, menurut antropolog Edward T. Hall (1979), bangsa Indonesia masuk kelompok high context culture dalam berkomunikasi. Dalam budaya ini, konteks atau pesan nonverbal diberi makna yang sangat tinggi. Masyarakat budaya konteks tinggi kurang menghargai ucapan atau bahasa verbal. Tokoh yang jauh-jauh hari mengungkapkan kemauannya menjadi presiden akan dianggap ‘’aneh’’.

Upaya meyakinkan publik dengan mengungkapkan program, atau visi, dan misi pun malah bisa kontraproduktif. Makanya, tidak heran bila nanti digelar debat calon presiden di media massa, kandidat yang piawai berdebat malah belum tentu memperoleh simpati publik. Berbeda dengan masyarakat Amerika dan masyarakat Barat pada umumnya yang memiliki low context culture. Walau pesan nonverbal juga penting, bahasa verbal amat dihargai untuk mengungkap ekspresi dan keinginan mereka.

Kesantunan Politik

Terlepas dari problem komunikasi di atas, debat dapat menjadi semacam ajang pembuktian kualitas intelektual dan kapabilitas calon menggulirkan rencana programnya ke depan. Masyarakat Indonesia memang memiliki high context culture, tetapi juga mempunyai kecenderungan kagum kepada kemampuan tokoh. Kombinasi antara aspek ketokohan dan kemampuan berkomunikasi menjadi sebuah alat signifikan meraih simpati rakyat.

Kemudahan akses informasi dan pengalaman menjalani fakta politik selama ini menjadikan komunikasi rakyat bergeser. Dengan meningkatnya literasi politik, rakyat kini membutuhkan figur yang mampu menguraikan persoalan bangsa ini secara baik dengan tawaran konsep yang jelas.

Belajar dari Obama, selain kemampuan berkomunikasi, dia mempunyai khas karakter santun politik. Setidaknya itu tampak dari penilaian publik Amerika tentang Obama. Bagi sebagian besar rakyat Amerika, Obama mempunyai kepribadian yang hangat, santun, impresif, dan selalu berpenampilan kalem. Dia nyaris tak pernah memperlihatkan sikap agresif, eksplosif, dan menunjukkan mimik muka yang terkesan ‘’melecehkan’’ orang lain. Dia selalu menawarkan aura kehangatan, rasa hormat kepada mitra bicara, serta mampu menampilkan sosok yang tenang dan persuasif. Karakter semacam itu mampu menumbuhkan simpati, tidak terkecuali lawan debatnya, bahkan sebelum ia mengeluarkan sepatah kata pun.

Kini capres dan cawapres mulai bermunculan menjelang Pemilu 2009. Masyarakat seolah terjangkit penyakit ‘’gila politik’’ pada saat mereka menggaggap dirinya pantas menjadi pemimpin negara. Banyak politisi, tapi sedikit yang memenuhi kriteria pemimpin. Kita merindukan pemimpin santun ala Obama. Kita tunggu! (*)

Diposkan oleh Redaksi di 13:15

Tolak kenaikan harga BBM, HTI : UU thogut tidak boleh dinaikkan

Ratusan Massa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) melakukan aksi demonstrasi di Bundaran HI menolak kebijakan pemerintah yang akan menaikkan harga BBM dengan tajuk ” Tolak kenaikan harga BBM, Liberalisasi Migas: Penguasa Bohong, Khianat, dan Dzolim”.


"Aksi hari ini menolak rencana kenaikan harga BBM, yang akan diputuskan pada tanggal 1 April," tegas juru bicara HTI Muhammad Ismail Yusanto , di Bundaran HI, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (22/3).

Menurut HTI, rencana menaikkan harga BBM adalah kebijakan yang dzalim, dan sebuah pengkhianatan yang sangat nyata untuk menyukseskan liberalisasi di sektor hilir yang akan merugikan rakyat.

"UU thogut tidak boleh dinaikkan, dan harus diganti oleh UU yang memenuhi unsur Islam. UU Thogut harus dicampakkan!" teriak seorang orator di atas mobil orasi.

HTI Menggelar spanduk besar putih berukuran 1,5x5 meter bertuliskan 'Sebentar lagi bensin di Indonesia semuanya bensin campur' berwarna merah-hitam, massa HTI juga membawa spanduk kecil berukuran 1x0,5 meter berwarna putih bertuliskan 'Sedia bensin campur, campur penderitaan rakyat, campur kebohongan penguasa, campur tangan asing' berwarna hijau-merah-hitam.

1 Mobil pick up mengangkut sound system dipakai untuk berorasi. "Ini merupakan kegagalan pemerintah dalam mengelola energi nasional. Dan membuat subsidi membengkak. Namun kegagalan tersebut ditimpakan pada rakyat untuk menaikkan BBM," tegas orator. [arrahmah/220312/al-khilafah.org]



Foto oleh Fatih Mujahid